BALI (Batu Lipai) - Puasa Ramadlan dan puasa-puasa lainnya, baik itu puasa wajib maupun puasa tathawwu’ (sunnah) tidaklah sah kecuali dengan adanya niat. Hal ini merupakan pandangan para ulama secara umum berdasarkan sabda Nabi Shallallahu ‘alayhi wa sallam :
إنما الأعمال بالنيات وإنما لكل امرىء ما نوى
“Sesungguhnya seluruh amal tergantung dengan niat, dan bagi setiap orang memperoleh sesuai dengan apa yang diniatkan”
Imam Al-Nawawi didalam al-Majmu' mengatakan: “Sesungguhnya madzhab kami (Syafi’iyah) menyatakan bahwa puasa Ramadlan tidak sah kecuali dengan niat pada malamnya, ini dipegang oleh Imam Malik, Ahmad, Ishaq, Daud dan jumhur ulama salaf maupun kholaf, sedangkan Imam Abu Hanifah menyatakan sah meskipun niat dilakukan pada siang hari sebelum tergelincir matahari (seperti pelaksanaan puasa sunnah, penj)”
Pengertian niat sendiri adalah al-qashdu / menyengaja. Sedangkan menurut syara’ adalah Qashdu al-Syai’ Muqtarinan bi-fi’lihi (Menyengaja sesuatu berbarengan/bersamaan dengan pekerjaannya)”
Contoh dari muqaranah adalah semisal ketika hendak memulai sholat, takbiratul ihram yang diucapkan dengan lisan bersamaan dengan niat didalam hati. Demikian juga dengan wudlu’ ketika hendak membasuh muka dan lain sebagainya.
Namun, berbeda halnya dalam masalah puasa. Niat puasa tidak disyaratkan muqaranah dengan pekerjaannya. Imam al-Suyuthi didalam Asybah wan Nadhair mengatakan ; “Pada dasarnya waktu niat adalah pada awal setiap ibadah dan semisalnya, pengecualian dalam masalah puasa, maka boleh mendahulukan niatnya dari awal waktunya karena sulitnya mengawasi/memantaunya, kemudian terus berlanjut hingga menjadi wajib (yaitu wajib mendahulukan niat dari awal waktunya, penj). Seandainya berniat bersamaan dengan fajar maka itu tidak sah berdasarkan qaul yang Ashoh”
Zainuddin Zakariyya Yahya al-Anshori didalam al-Ghurrar al-Bahiyyah berkata: “Sesungguhnya ulama tidak mewajibkan adanya muqaranah didalam puasa karena sulitnya memantau fajar dan mengaplikasikan niat padanya”.
Mengucapkan Niat Puasa
Niat merupakan amaliyah hati, tempatnya tentu saja didalam hati. Puasa tidak sah kecuali dengan adanya niat, sedangkan mengucapkan niat puasa (al-nuthq) tidaklah disyaratkan tanpa ada perselisihan diantara ulama. Artinya adalah mengucapkan atau pun tidak mengucapkan, maka sama sekali tidak akan berpengaruh pada puasanya, sebab itu bukan syarat didalam niat puasa.
Imam Taqiyuddin al-Hishni didalam Kifayatul Akhyar berkata : “Tidak sah puasa kecuali dengan niat untuk kebaikan, sedangkan tempatnya didalam qalbu, dan tidak disyaratkan mengucapkan niat tanpa ada perselisihan pendapat diantara ulama”.
Oleh karena itu, niat puasa cukup didalam hati. Jikalau niat diucapkan melalui lisan seraya berniat didalam qalbunya maka puasanya sah, bahkan ada ulama yang menganjurkan mengucapkan niat dengan lisannya untuk membantu hati dalam mengingat niat. Namun, jika hanya sebatas mengucapkan dengan lisan tanpa berniat puasa didalam qalbu maka itu tidak sah, sebab yang wajib adalah niat didalam hati.
Wallahu A’lam
Baca juga : https://irudnews.blogspot.co.id/2016/05/siapa-penggagas-niat-mari-kita-kembali.html
0 Komentar