Alasannya Organisasi Mahasiswa Merosot


Pada dasarnya, organisasi mahasiswa memiliki peran yang signifikan dalam sejarah bangsa. Namun sejak 1998, tidak ada lagi gerakan mahasiswa yang dihasilkan organisasi mahasiswa, yang berakibat besar terhadap bangsa. Pengurus organisasi mahasiswa, sebuah jabatan sakral dimasa lalu, sekarang tidak lebih dari "orang aneh sok sibuk yang tak dipeduli" oleh rekan rekannya. Ia bukan lagi tokoh yang diidolakan, dihormati dan dihargai. Gerakan mahasiswa, momok bagi para status quois sekarang tak lebih keren ketimbang demonstrasi bayaran.

Organisasi mahasiswa, intra maupun ekstra kampus, secara umum mengalami beberapa kemunduran. Antara lain, kurangnya kuantitas kader. Kurangnya kualitas kader. Dan terlalu banyaknya dinamika yang kurang produktif yang menghambat perkembangannya.

Organisasi mahasiswa pada dasarnya, "sekolah ekstra" tempat menempa mental dan kemampuan manajerial mahasiswa, menjadi sangat penting untuk dijaga. Sebab kita dapat bayangkan, betapa lemahnya bangsa ini kedepan jika mahasiswa saat ini yang kelak melanjutkan estafet pembangunan, minim pengalaman organisasi.

Cara pandang 70-80an
Agar organisasi dapat bertahan, ia harus mampu menghadapi tantangan zaman. Organisasi mahasiswa di era 80-an, berada dibawah tekanan. Militansi adalah karakter utama gerakannya. Kader ditekankan memiliki militansi yang kuat. Militansi disini dalam artian, kuat memperjuangkan kepentingan umum. Bila dispesifikkan lagi, kuat demo. Cukup modal isu (yang bahkan belum terverifikasi validitasnya), rapat aksi, maka terjadilah demo besoknya. Militan bukan?

Model pengelolaan kaderisasinya yaitu dengan mengandalkan senioritas. Seniorlah yang pegang kendali. Bukankah senior tak pernah salah, dan bila salah kembali ke pasal satu ? Mengapa demikian, karena pada zaman itu, belum ada batasan masa kuliah. Hal wajar bila orang kuliah S1 sampai belasan tahun.

Saat itu, pengurus apalagi ketua lembaga, bagaikan Dewa. Ia dipuja oleh para yunior. Ia menjadi suri teladan yang dihormati dan disegani. Selalu dikawal oleh kawan kawannya, bak artis saat ini.

Memandang tahun 2016
Sejak reformasi 98, banyak perubahan mendasar dalam sistem tata negara kita. Kemudian berdampak pada sistem sosial. Sebagai contoh, terbitnya UU kebebasan pers dan terlepasnya rakyat dari represi orde baru (tuduhan komunis, tuduhan tindak subversif, penculikan, petrus dsb), menjadikan media kita sangat bebas. Ditambah lagi perkembangan teknologi informasi, sehingga informasi semakin mudah diakses. Perang isu menjadi hal lumrah saat ini.

Perubahan lain misalnya dihapuskannya ospek dengan alasan melanggar HAM. Walhasil, taring para senior menjadi ompong. Senior yang mencoba sok jagoan didepan yuniornya, akan menjadi bahan tertawaan. Beda, bila hal itu dilakukan beberapa puluh tahun lalu.

Generasi hedon, sesuatu yang amat langka di era 70, 80 dan 90an, menjadi hal umum saat ini. Budaya hedonisme, membuat banyak mahasiswa tidak lagi mementingkan berorganisasi. Tantangan semua organisasi adalah bagaimana membuat organisasi mahasiswa menarik bagi mahasiswa ditengah budaya hedonisme.

Merosotnya Organisasi Mahasiswa
Jelas, peran organisasi mahasiswa makin merosot akibat terlalu banyaknya dinamika yang tidak produktif, terutama saat suksesi. Selain itu organisasi mahasiswa kurang tanggap terhadap tantangan zaman. Organisasi yang hidup di tahun 2016, tapi paradigma pengelolaannya masih tahun 70-80an. Bila dibiarkan, organisasi mahasiswa diambang kehancuran. Pada gilirannya, akan melemahkan bangsa. Sebab sebuah kekuatan penting, yaitu mahasiswa, tidak lagi memiliki saluran energi positifnya.

Penguatan intelektual
Tradisi membaca, harus kembali dihidupkan. Organisasi mahasiswa semestinya mewadahi hal tersebut. Melalui kegiatan bedah buku atau sejenisnya. Pengadaan perpustakaan. Diskusi berkala. Dan hal hal ilmiah lainnya.

Bukan hal tabu, bila organisasi mahasiswa mengundang pejabat publik untuk meminta klarifikasi atau pencerahan tentang sebuah kebijakan. Ketimbang terburu buru turun kejalan atas isu yang lemah argumentasinya. Sehingga ada perbandingan antara isu, realitas lapangan, regulasi dan kebijakan. Menjadi mahasiswa yang bijak membaca situasi itu lebih baik ketimbang gampang dikompori dengan maksud agar dianggap militan.

Previous
Next Post »
0 Komentar