“Menjadi pemimpin, adalah perjalanan untuk menjadi diri sendiri, mengekspresikan kesejatian yang telah Tuhan hadirkan.”
Sebab tiap orang adalah pemimpin, dan akan mempertanggungjawabkan setiap hal yang diamanahkan kepadanya, maka menjadi pemimpin memang bukanlah menjadi orang lain. Pun, bukan pula menjadi seseorang yang heroik nan selebritik. Memang, ada para pemimpin yang akan berdiri di garda depan, memimpin ribuan bahkan jutaan orang mencapai tujuan. Namun para pemimpin itu akan sendirian, jika jutaan orang yang mengikuti tak memimpin diri mereka sendiri dan menyadari pentingnya tujuan yang diidamkan tuk dicapai. Dan bukankah kejadian serupa ini sering terjadi? Kala penyeru kebenaran tak mendapatkan pengikut kecuali sedikit?
Adalah Warren Bennis, pakar kepemimpinan yang turut mempopulerkan paradigma bahwa para pemimpin tidak dilahirkan, mereka didik. “Dan dalam banyak kasus, mereka mendidik dirinya sendiri,” ujarnya.
Saya sepakat. Para pemimpin besar, dianggap besar, setelah sekian lama perjalanan ia lalui, dan banyak orang mengikuti. Namun dalam perjalanan itu, kala hanya sang pemimpin sendiri yang mampu melihat arah tujuan jauh ke depan, ia sendirian. Dalam kesendirian itu, ia membentuk dirinya, menjadi sebagaimana kini. Ia didik dirinya, dengan berguru pada banyak orang, sembari menelusuri pengalaman yang ‘berserakan’.
“Para pemimpin,” ujar nasihat bijak, “adalah pemimpin diri, sebelum yang lain.” Karenanya ia otentik, lalu banyak orang mengikuti. Apa pasal? Ya sebab mereka telah melihat bukti berjalan atas apa yang ia perjuangkan. Mereka saksikan kemungkinan, meski masih jauh dari keberhasilan. Ah, kemungkinan, memang adalah senjata para pemimpin. Sesuatu yang mungkin, tentu lah tak pasti. Namun para pemimpin sejati, sebab keotentikan dirinya, mampu menjadikan ketidakpastian itu sebagai energi. Dengannya ia bergerak, dan menggerakkan.
Maka menjadi pemimpin, memang bukan menjadi orang lain. Ia berawal, dan berakhir, pada menjadi diri sendiri, sebagaimana yang Tuhan kehendaki.
0 Komentar