Stand Up Comedy Atau Komedi Tunggal (Khazanah Bahasa)


Setiap malam di salah satu TV swasta kita bisa menjumpai acara yang beragam dengan menyuguhkan keunikannya masing-masing. Setelah penatnya bekerja hampir seharian rugi rasanya bila tidak menikmati malam santai bersama keluarga dengan menyaksikan acara hiburan tersebut, tontonan yang diberikan sepatutnya edukatif dan informatif, bukan acara lakon atau alay yang digandrungi oleh remaja-remaja seperti sekarang.

Menariknya, bagi kalangan pengamat dunia hiburan acara Stand Up Comedy adalah acara yang sukses, sehingga merambah sampai ke stasiun TV lain, yang sebelumnya hanya Kompas TV dan Metro TV yang menyiarkannya. Selama ini dari sisi jumlah penonton di 2 stasiun televisi tersebut bisa jadi ada di kelompok terbawah, dengan adanya acara ini di Indosiar yang juga satu grup dengan SCTV (yang belakangan klaim sebagai TV dengan penonton terbanyak di Indonesia) bisa memberikan tontonan yang positif ketimbang tayangan yang monoton.

Namun dengan kesuksesan acara Stand Up Comedy, ada yang aneh. Bukan acaranya, melainkan nama acaranya yang terasa agak ke barat-baratan. Bukankah negara kita adalah negara yang menjunjung tinggi bahasa persatuan Indonesia? dan sebaiknya bahasa yang semacam ini perlu di tinggalkan karena secara historis pendapat "kita belum merdeka dari dunia barat" layak untuk di sandingkan ke dalam acara Stand Up Comedy tersebut.

Pada Kamus Besar Bahasa Indonesia (Edisi IV, 1998), kita hanya mendapati “lawak” dan “komedi”, istilah yang sangat dikenal orang ramai. Tidak ada padaran untuk stand up comedy. Secara linguistik, pengalihbahasaan dari satu bahasa ke bahasa sasaran bisa dilakukan secara harfiah atau konseptual. Namun, kenyataannya, keduanya mati kutu apabila kata asalnya lebih sering digunakan di tengah khalayak. Boleh jadi, sihir media massa jauh lebih dahsyat dibanding dengan seruan bahwa bahasa baku itu perlu. Lihat, meskipun presenter tak tertera di dalam kamus, kata ini sering digunakan di Indonesia, sementara Malaysia menggunakan kata penyampai.

Hal serupa juga terjadi dalam Kamus Dewan negeri jiran. Kita tidak menemukan padanan kata majemuk di atas. Namun, seiring dengan makin populernya acara ini, komedian dan pegiat Malaysia menyebut dengan “Lawak Berdiri”, sedangkan di saluran sebelahnya dengan kata "Lawak Sorang-Sorang", yang merupakan sebutan untuk “seorang-seorang”.

Memang, kita akan sering menemukan pengalihbahasaan bahasa Malaysia terhadap kata asing secara harfiah, seperti “muat turun” (download) dan “muat naik” (upload). Sayangnya, meskipun kita menyebut “unduh”, sebutan itu jarang digunakan malah ditulis dan lisankan menjadi donload.

Sejatinya, kita mampu menghadirkan padanan bahasa asing dalam bahasa sendiri, tapi orang ramai lebih mengutamakan menggunakan bahasa asal. Pada banyak media, baik televisi maupun koran, kita akan sering mendengar kata presenter, sehingga khalayak terbiasa dengan penggunaan kata tersebut. Sementara itu, di layar kotak kaca, sang pembawa acara sering menanyakan password dalam acara kuis, alih-alih “sandi”. Padahal, di negara tetangga, Malaysia, Singapura  dan Brunei Darussalam, “kata laluan” sebagai padanan harfiah sering mendengar, sehingga pemirsa dengan mudah membayangkan password. Di sini, mungkin penelepon akan kebingunan ketika ditanya “sandi”. Karena ia mungkin membayangkan “sandi morse” yang di pelajari dalam kegiatan pramuka.

Jadi, kalau bahasa kita sejatinya bisa membayangkan alih bahasa, tugas semua pihak untuk menyebarkan dan menggunakannya dalam pelbagai kesempatan. Namun pelaku komedi tunggal yang di sebut comic tak mudah disebut “komikus” mengingat KBBI 1998 (terakhir) hanya menerangkan “orang yang ahli membuat komik cerita bergambar”.

Untuk itu, Badan Bahasa mempunyai tanggung jawab yang besar untuk melakukan terobosan-terobosan agar sebuah kata bisa digunakan dengan ringan tanpa merasa aneh mengungkapkannya. Bukan melukai amanat konstitusi bahwa bahasa baku itu perlu, tapi tertib berkata-kata itu perlu.

Akhirnya, dibandingkan dengan “jenakata”, “komedi tunggal” lebih mudah dipahami dan dibayangkan khalayak dan dijadikan kata sinonim agar kita bisa merawat khazanah sendiri. Namun ini tidak berarti menutup pintu bagi kata lain yang dianggap sebagai cerminan kekayaan bahasa Nusantara. Tak mudah mempopulerkan sebuah istilah tanpa ada usaha bersama dari semua pihak. Pada waktu yang sama, penggunaan kata serampangan, seperti launching, dalam banyak kesempatan, baik lisan maupun tulisan, telah menyebabkan matinya kata “peluncuran”. Padahal kata”peluncuran” di negeri jiran acap digunakan untuk menandai sebuah pergelaran acara. Lalu mengapa kita mesti risi menggunakan “komedi tunggal”? Bukankah istilah serupa, seperti “orgen tunggal” yang telah sering diungkapkan?
Previous
Next Post »
0 Komentar