Hiruk Pikuk Menuju Pilgub DKI 2017


Pemilihan Gubernur (Pilgub) DKI Jakarta untuk periode 2017-2022 terbagi menjadi tiga poros kekuatan politik, dan terkesan layaknya adu kekuatan bagi tokoh-tokoh nasional yaitu Megawati Soekarnoputri, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan Prabowo Subianto. Ketiga Ketua Umum partai itu mempunyai jagoan masing-masing.

Megawati Soekarnoputri Ketua Umum PDI Perjuangan bersama Partai Golkar, Nasdem dan Hanura mempunyai calon Gubernur Basuki Tjahaja Purnama (Ahok). Ahok dipasangkan dengan kader PDIP Djarot Saiful Hidayat. SBY Ketua Umum Partai Demokrat, bersama PAN, PPP dan PKB mengusung calon Gubernur Agus Harimurti Yudhoyono yang tak lain adalah putra pertama SBY. Agus dipasangkan dengan birokrat DKI Sylviana Murni. Prabowo Subianto Ketua Umum Partai Gerindra bersama PKS mengusung calon Gubernur Anies Baswedan-Sandiaga Uno.
Ketiga pasangan kandidat Pilgub DKI kebanyakan di isi oleh wajah baru, dan menjadikan vitamin demokrasi indonesia untuk kedepannya. Menilik lebih jauh, strategi jitu hingga aneh pun mulai diterapkan, menariknya politik ini masih saja beraroma Pilpres 2014 silam.

Lihat perkembangan elektabilitas Ahok-Djarot saat ini, mulai menurun seiring munculnya lawan yang sepadan. Untuk menuju DKI 1 & 2 pun sangat tipis ketika dipengaruhi dengan munculnya kampanye hitam seperti isu SARA ketika memilih pemimpin yang bukan islam. Ahok yang di cap tukang gusur berubah kalem ketika masyarakat mulai cenderung memilih pemimpin baru ketimbang dirinya yang berkualitas. Tidak ingin mengucap kotor lagi adalah strategi pribadi Ahok dalam merubah ritme. Tetapi, perubahan drastis seperti itu malah menjadi bomerang sendiri bagi Ahok karena masyarakat kini telah pandai menilai sendiri apalagi ditambah dengan media yang memanas-manaskan Ahok akibat perubahan perilakunya secara tiba-tiba.
Sebaiknya kubu PDIP harus segera mengalih strategi, guna meredam situasi yang tidak menguntungkan bagi calonnya dan koalisinya tersebut. Apalagi kabar tidak sedap beredar tentang keangkuhan Megawati ketika mencalonkan Ahok-Djarot (20 September 2016 lalu) dengan mengenakan jaket PDIP bisa membuat koalisi gemuk ini akan terjadi perselisihan.
Sejumlah partai pengusung resah, terutama partai Golkar. Golkar menganggap Ahok-Djarot adalah milik semua partai yakni partai pendukung maupun pengusung, walau Ahok di dukung oleh PDIP sejak Pilgub Jakarta 2012 yang lalu. Perihal ini juga ditambah dengan berita surat pengunduran diri dari politisi Boy Bernadi Sadikin, Rabu 21 September 2016 dan lalu merapat ke kubu Prabowo, serta diperparah dengan adanya wacana penunjukan tim sukses dari partai PDIP.

Di luar kisruh internal koalisi, strategi yang menarik dari ibuk Mega sangat bagus untuk di ulas. Dipasangnya Djarot sebagai wakil Ahok mengindikasikan jika menang Ahok akan dijadikan wakil Jokowi di Pilpres 2019 mendatang. Lalu Djarot naik menjadi Gubernur dan PDIP akan menjadi partai yang sangat berkuasa karena telah memegang 2 posisi penting. Walhasil posisi Wagub akan di undi dari 3 partai Golkar, Nasdem dan Hanura. Jika kalah, kemunginan jabatan Mendagri akan di isi oleh Ahok, dan Djarot kemungkinan masih saja dalam lingkaran partai PDIP.
Sebutan "Anak Emas" mungkin harus disematkan kepada Ahok oleh PDIP, terutama oleh Jokowi yang notabane secara personal adalah mantan wakilnya. Sebab  seandainya mantan Bupati Belitung Timur ini menang otomatis tidak ada gubernur baru, ditengarai kasus-kasus tidak akan mencuat. Lain halnya bila Ahok kalah, kasus seperti "dugaan korupsi Jokowi oleh publik" seperti kasus bis transjakarta kemungkinan akan dikembangkan oleh pihak berwajib atas rekomendasi Gubernur baru.

Kemudian pasangan Agus-Sylviana, banyak kalangan menganggap SBY salah kalkulasi ketika menempatkan Agus menjadi kandidat Gubernur Jakarta. Karier yang cemerlang di militer seakan di putus begitu saja oleh orang tuanya sendiri. Namun bukan tanpa strategi Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) mengusung Agus Harimurti Yudhoyono sebagai calon gubernur DKI berpasangan dengan Sylviana Murni. SBY memiliki segudang strategi yang sudah dipersiapkan untuk putra sulungnya itu. Yang jelas, peluang berkarier anaknya di TNI sudah tidak banyak karena tidak ada dalam lingkaran kekuasaannya lagi.
Pasangan Agus juga bukan sembarang orang, punya track record yang mumpuni sebagai birokrat, pendidikan tinggi dan berpengalaman (mantan walikota Jakarta UTARA) yang bisa mendukung Agus untuk cepat menguasai masalah DKI. Di harapkan citra Sylvia bisa menarik kaum muda perempuan profesional dan terdidik.
Jika menang Agus disiapkan akan running di 2019. Capres termuda, mengikuti jejak Obama, seperti yang dirintis Anas Urbaningrum, tapi kurang mendapat dukungan yang kuat sehingga tergusur.
Namun jika Agus kalah di Pilgub, SBY masih menyiapkan strategi lain. Agus nantinya akan memimpin Partai Demokrat. Tapi kekalahan berpotensi kecil sebab SBY selalu mempunyai kekuatan hebat yang tak terlihat serta mempunyai 1001 alternatif.

Kemudian pasangan Anis-Uno. Siapa yang tidak kenal dengan Anis Baswedan? Sosok satu ini ringan dan teratur dalam bertutur kata, dan dalam akademik beliau adalah juaranya. Beliau merupakan peraih penghargaan 20 orang berpengaruh pada 20 tahun mendatang dari majalah jepang. Tidak sedikit prestasi akademiknya yang diraih sehingga menjadikannya menteri pendidikan, namun dalam perjalanan ia di depak yang disinyalir ketakutan Jokowi akan menterengnya citra Anis menuju kursi presiden akibat kebijakannya yang proposional selama menjadi menteri.

Kemudian pasangannya yang merupakan lulusan amerika juga merupakan salah satu calon Wagub yang terdidik, selain berprestasi akademik Sandiaga Uno juga seorang pebisnis yang sukses. Bahkan bukan suatu keniacayaan duet birokrat-pebisnis akan dapat mengatasi segala permasalahan ibu kota.
Strategi yang dimainkan oleh koalisi Prabowo memang tidaklah sehebat strategi SBY bagi calonnya yang aman jika apapun keputusan pada Pilgub nanti. Yakni jika menang di Pilgub nanti, Anis akan disandingkan bersama Prabowo di Pilpres 2019 lalu wakil Gubernur di isi oleh Sandiaga Uno yang berbaju PKS, terakhir partai islam ini berkuasa pada tahun 2004 jadi ini juga merupakan motivasi besar untuk memnangkan Pilgub kali ini.

Pengsungan Anis ke dalam koalisi Prabowo banyak yang membuat pertanyaan besar. Masih kuat ingatan semua orang dengan tidak lolosnya Anis pada konvensi partai Demokrat lalu menjadikan Anis berlabuh ke Jokowi dan menjadi menteri pendidikan. Berjalannya waktu beliau seakan seperti menjadi jubirnya Jokowi, terkadang statmentnya sedikit menyinggung hati Prabowo. Integritasnya patut dipertanyakan karena dahulu mebully Prabowo seolah menandakan tidak adanya sikap "Satunya Kata Dengan Perbuatan". Apakah mendekati JK adalah modal untuk mendekat Prabowo?? Atau mungkin hal yang dilakukan pak Anis adalah sebuah pencitraan, seperti kata pak SBY "Politik Itu Citra".

Jadi, strategi jitu berperan penting dalam politik merupakan masalah yang klasik, hiruk pikuk Pilgub kali ini seperti babak lanjutan dari Pilpres 2014 silam. Perseteruan abadi antara Megawati dan SBY masih saja memuculkan daun barunya dari batang, sebab akarnya saja belum bisa dihilangkan. Lalu Prabowo hadir yang harusnya sebagai penengah malah memilih salah satu dari pesaing tersebut. Namun kali ini Prabowo seperti mempunyai daun kehidupan sendiri, yang dipercayai akan mengungguli dari daun-daun lainnya, sebagai mana hal yang sama dilakukannya ketika Pilpres 2014.

Akhirnya, tiga tokoh nasional ini saling pandang, saling sorot, serta saling mengawasi. Partai mulai sibuk dengan jargonnya, pertarungan semakin sengit.  Menang Pilgub maka harapan besar untuk pucuk pimpinan di negeri ini. Dan harapan kita senagai rakyat yang pro demokratis, semoga saja dengan semakin baik perpolitikan indonesia dapat tertular pada setiap elemen, yakni semakin berkualitasnya calon-calon yang di usung.
Previous
Next Post »
0 Komentar