Catatan Sore di Jalan Nusantara


Jalan Nusantara tidak sepadat siang tadi, dimana kendaraan bising dengan suaranya masing-masing. Pukul 05.45 aku memulai petualangan ini, di saat kendaraan yang ku gunakan raib dibawa saudara sendiri. Namun tak mengapa, tak ada rasa sesal di dada. Sampai setengah jalan aku tetap menikmatinya. Bahkan bak jagoan, aku menolak berbagai ajakan teman untuk pulang bersama. Padahal kaki terasa pegal, tapi fikirku "ah sudahlah biar aja nikmati aja perjalanan ini, jika aku ikut mereka mungkin tulisan ini tidak selesai."

Waktu terus berlalu, melihat jam di tangan kiri, tepat pukul 17.45 WIB. Tak peduli akan dikejarnya magrib aku lantas melanjutkan, ngetik dan berjalan lurus sampai pertigaan toko buah-buahan.

Ohya, terlupa ingin ceritakan teman yang di jumpai barusan. Dari jauh memang sudah tahu kalau dia seorang mahasiswa PMII, sama seperti aku. Ketika ditanya mau kemana jawabku mau ke hotel Paragon. Haha lucu jadinya, masak iya ke hotel jalan kaki.

Lanjut. Tahukah kalian sudah dimana aku berada? Di pasar puakang, tepatnya di jalan raya, tapi melewati jalan laut sebab nanggung udah dari awal memang ingin lewat jalan ini. Ternyata eh ternyata suara mengajipun terdengar. Tak papalah, kan sudah dekat. Kedip mate-kedip mate pun nanti dah sampai kate orang melayu. Haha

Sangking asiknya mengetik kisah ini, diperjalanan ada hal-hal saja yang unik kutemukan barusan. Pertama, untuk yang kedua kalinya aku bertemu dengan seorang ibu wajah yang sama, pertama di parkiran hotel Maxi sekarang di pasar ikan tepi laut. Lalu yang kedua, kendaran alternatif seperti oplet kuning dari tadi tak kunjung terlihat moncongnya malah yang sering lewat adalah oplet biru. Tapi ketika ditanya selalu jawabnya kolong, ya udah aku pun malas jadinya mau menanya lagi sehingga sudah puluhan oplet berteriak mau kemana tidak aku gubris. Uniknya aku malah bersemangat untuk berjalan terus sambil menceritakan secara deskripsi.

Eh ada adzan ni, langkah ku cepatkan untuk mencari tempat ibadah. Rasanya hari ini petualanganku sama seperti pengambara yang senang merantau hanya untuk bertahan hidup di negeri orang. Baru tahu begini rasanya, seperti ini menjadi perantauan. Hidup selalu mencari tempat peristirahatan baik untuk urusan duniawi maupun surgawi.

Lama aku merenung sebagai seorang pengembara, tiba-tiba aku mendengar ombak di sisi kananku, ternyata air laut telah pasang dan secara tak terduga aku pun di sapa oleh ibuk tadi dengan klaksonnya di simpang strawberry. Haha ketawa aku jadinya, akhirnya 3 kali kami berjumpa.

Tulisan ini akan selesai sampai aku tiba di rumah. Rasanya tidak tahu lagi apa yang ingin di tulis. Yang ingin aku katakan aku mau istirahat. Sejenak untuk menghirup air yang segar lalu membasuah muka serta anggota tubuhku yang lainnya.

Perjalanan aku lanjutkan, keluar dari gerbang aku melihat langit setengah gelap. Pintu bank-bank swasta berbunyi nyaring, petanda ingin tutup karena jam kerja telah berganti dengan jam rehat. Saat melihat pertokoan di samping Hawaii, masih banyak ruko yang blum di manfaatkan. Seharusnya daerah kolong sebagai jantung Karimun harus la padat dengan segala perekonomiannya untuk kaum kelas menengah.

Saat asiknya beragumen di depan kaca seluer tiba-tiba ada teman ku lagi yang menawarkan jasanya, lagi-lagi aku mengelak dengan berdalih ingin ke Salemba. Dia pun memaksa, dengan tidak enak hati aku pun mengucapkan terimakasi seteah penolakan itu.

Sejenak aku istirahat namun tetap melangkah, ku ingin menikmati pemandangan roti morning bakery, baju bola nan unik dari eleven sport serta jajanan malam yang berjejeran di sepanjang jalan menuju kantor imigrasi. Aroma cempedak pun tak ikut ketinggalan untuk menyapa hidungku yang dari tadi penuh dengan kotoran asap kendaraan.

Akhirnya, aku telah sampai di jalanan yang kecil. Tepat di LKP Bunda, terlihat ramai orang yang berbondong untuk belajar komputer. Lalu tulisan ini tiba-tiba saja berhenti dikala HP ini mati, kemudian aku lanjutkan uraian ini pada malam hari setiba dirumah.
Previous
Next Post »
0 Komentar