Ketersesatan Sejarah Maritim Indonesia



Dari para sejarahwan hingga perwira Angkatan Laut Indonesia berkomentar mengenai penetapan resmi Hari Maritim Nasional. Polemik ini sebenarnya harus segera dituntaskan agar tidak terjadi berlarut-larut yang mengakibatkan publik terus mengalami ketersesatan sejarah.

Ketua Asosiasi Pemuda Maritim Indonesia (APMI) Ahmad Pratomo menilai kinerja pemerintah dan para sejarawan tergolong lambat untuk menetapkan Hari Maritim Nasional. Dirinya menghimbau agar para pemangku kepentingan agar opini dari para sejarawan dan komunitas sejarah semakin tertampung. Secara pribadi dirinya mengusulkan Hari Maritim Nasional lebih tepatnya jatuh pada peristiwa Perang Selat Bali.
"Spirit dan roh revousi di laut harus diangkat agar bisa menginspirasi generasi saat ini. Salah satu peristiwa penting yang mendasari itu ialah tanggal 5 April 1946 saat sekelompok pasukan dipimpin oleh pemuda bernama Markadi bergerak dari Banyuwangi menuju Bali dalam misi mendaratkan pasukan dan pengibaran merah putih.” papar Ahmad.

Menurutnya, peristiwa itu sangat heroik karena pemuda yang bersenjatakan minim mampu mengalahkan 2 kapal patroli Belanda yang jauh lebih canggih kondisinya. Selain itu, lulusan Sejarah UI itu menganggap peristiwa itu jarang diangkat di dalam buku sejarah, hanya perang di tanggal 10 November 1945 lah yang akhirnya menjadi Hari Pahlawan, sementara di laut tidak pernah”

Oleh karena itu, agar membangkitkan semangat maritim terutama dalam hal menjaga kedaulatan, Ia sangat sepakat sekali bila hari itu dijadikan Hari Maritim Nasional seperti halnya Hari Pahlawan. Kendati demikian, Ia juga menerima bila ada usulan untuk menyamakan antara Hari Bahari dan Hari Maritim yang jatuh pada tanggal 23 September.

Perlu diketahui bagi mahasiswa khususnya yang memiliki kualifikasi di bidang maritim. Bahwa tanggal 23 September merupakan hari diberlangsungkannya Munas Maritim yang pertama dan terakhir kalinya. Hari itu juga bisa memberikan makna tersendiri, karena di situ ada konsep sebuah negara dan sebuah identitas bangsa yang lebih luas gerakannya, yaitu maritim.

Sementara itu, Kasubdisjarah Dispenal Kolonel Laut (P) Rony Turangan turut memberikan pandangan terkait penetapan Hari Maritim Nasional. Menurutnya Hari Maritim Nasional tidak perlu dipandang sebagai kejadian perang di laut saja tetapi bisa dengan peristiwa lainnya yang berhubungan dengan maritim.
Kesepakatan bahwa 23 September yang saat ini diperingati sebagai Hari Bahari dijadikan pula sebagai Hari Maritim Nasional, disebabkan istilah ‘bahari’ dan ‘maritim’ sebenarnya sama hanya saja berbeda asal katanya.

“Tanggal 23 september sebagai diselenggarakannya Munas Maritim pada zaman Bung Karno saya kira lebih tepat untuk dijadikan Hari Maritim nasional, jadi tidak harus digambarkan dengan peristiwa perang atau angkatan laut, karena maritim ini punya semua anak bangsa,” ungkapnya.

Kalau memang banyak pihak yang masih menginginkan Hari Maritim itu dari peristiwa perang, Rony menegaskan lebih baik hari pemberontakan para ABK pribumi di kapal perang Belanda Zeven Provincien pada 3 Febuari 1933 pimpinan Martin Paradja yang dijadikan Hari Maritim, karena itu terjadi sebelum kemerdekaan dan menunjukan keberanian pelaut kita.
Previous
Next Post »
0 Komentar