Polemik penetapan Hari Maritim Nasional di tengah berjalannya visi poros maritim dunia tak urung tuntas. Kendati ada pihak yang mengusulkan tanggal 21 Agustus sebagai Hari Maritim Nasional namun dinilai alasannya masih kurang kuat.
Mengutip kata sekjen Assosiasi Pemuda Maritim Indonesia (APMI) Ahlan Zulfakhri kepada salah satu media online maritimnews.com. Beliau mengatakan penetapan 21 Agustus sebagai Hari Maritim Nasional kurang relevan dari sisi sejarah maritim nasional.
Menurutnya, alasan penyerangan rakyat kepada Gudang Militer Jepang di Pulau Nyamukan, Surabaya, 4 hari setelah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945 dikumandangkan tidak bisa dijadikan ukuran dalam menetapkan Hari Maritim. Pasalnya banyak daerah seperti Sibolga, Cirebon, Tanjung Priok dan Tegal yang melakukan upaya yang sama untuk memperkuat persenjataan rakyat (saat itu belum ada BKR, TKR dan TNI).
“Angkatan bersenjata kita belum berdiri saat itu, BKR Laut sendiri yang merupakan cikal bakal TNI AL baru berdiri 10 September 1945. Jadi agak keliru, kalau atas dasar penyerangan rakyat ke tangsi militer Jepang dijadikan Hari Maritim Nasional,” terang Ahlan.
Kemudian timbul beberapa pembahasan di tataran nasional bahwa Hari Maritim Nasional seharusnya bertepatan dengan Musyawarah Maritim pertama dan terakhir kalinya yang jatuh pada tanggal 23 September tahun 1963 di masa Pemerintahan Bung Karno.
Keppres Nomor 249 tahun 1964 ternyata menjadi landasan hukum Hari Maritim Nasional. Dengan dasar ini, pemerintah tinggal menegaskan kembali dan jangan sampai lupa dengan sejarah. Karena akan berakibat fatal bagi perjalanan poros maritim kalau sejarah maritim saja kita tidak tuntas.
Kendati sudah ada diskusi-diskusi kecil yang menghadirkan beberapa stakeholder baik dari ahli dan pemerintah, namun sayangnya belum ada keputusan dan pengumuman secara resmi mengenai Hari Maritim Nasional.
Hal ini sekaligus mencerminkan tindakan inkonsistensi para ahli sejarah untuk mengungkapkan sikap, terhadap Hari Maritim Nasional. Ke depan seharusnya disosialisasikan kepada anak bangsa ini akan peristiwa penting yang terjadi pada 23 September 1963 itu, agar kita saat ini tidak kehilangan arah.
Untungnya polemik ini di tangani oleh deputi IV bidang Budaya, SDM dan IPTEK Maritim Kemenko Maritim yang dipimpin oleh Safri Burhanuddin. Beliau telah membentuk tim khusus untuk mempelajari polemik ini. Namun hingga kini hasil dari penelusuran tim tersebut masih ditunggu oleh 240 juta rakyat Indonesia yang sedang bertransformasi sebagai bangsa maritim.
0 Komentar